Selasa, 06 Agustus 2013

Sepenggal Cerita dari Bapak Dahlan Iskan

Sepulang sekolah, ketika kewajiban menyabit rumput sudah kutunaikan, aku berkemas dan bergegas ke langgar. Zain dan anak-anak Kebon Dalem beramai-ramai ke langgar. Bapak sudah menunggu di depan pintu, senyum teduhnya menyambut kami. Ceruk matanya semakin dalam, cahaya matanya tak secerah semasa Ibu masih ada. Rasanya Bapak begitu cepat menua. Setelah kami duduk melingkar di dalam langgar, Bapak mendeham dan mengangguk-angguk penuh semangat.

"Siang ini bapak akan bercerita."

Kami bersorak. Lalu, terdiam begitu Bapak mulai mendeham.

"Suatu ketika, seorang lelaki miskin dari kaum Anshar mendatangi Rasulullah saw untuk meminta sedekah agar keluarganya bisa makan hari itu. Sahabat-sahabat yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah saw terkejut mendengar permintaan lelaki itu, karena zaman itu jarang ada yang datang meminta makanan kepada beluau. Namun, Rasulullah saw tersenyum lembut dan bertanya apa saja barang yang dimiliki oleh sang Peminta-minta itu. Lalu, lelaki itu menjawab bahwa di rumahnya dia masih mempunya selembar baju yang sedang dijemur dan sebuah gelas. Kemudian, Rasulullah saw meminta lelaki itu untuk mengambil kedua barang itu."

Kami mendengarkan dengan penuh sukacita. Bapak adalah pencerita terbaik di Kebon Dalem, kisah-kisah yang dituturkan oleh beliai bukan sekadar riwayat usang atau dongeng pengantar tidur semat, melainkan serangkaian hikayat yang mengandung banyak hikmah. Lewat nada suara yang teratur tinggi-rendahnya dan miumik wajah yang penuh pikat, Bapak mengajari kami bagaimana semestinya menjalani kepeedihan hidup di tengah kemiskinan, layaknya orang-orang miskin, dahulu, bertahan hidup dan melalui kepedihan itu dengan tabah dan tawakal. Seperti itulah cara Bapak mendidik kami, lewat cerita-cerita mengguagah. Taka ada dia ntara kami yang pedulu apakah kisah-kisah beliau tuturkan benar-benar pernah terjadi atau sesungguhnya rekaan semata. Bahi kami, dongen Bapak, setara dengan menamatkan pembacaan sebuah kitab bunga rampai yang sarat makna.

Beliau menarik napas dan menatap kami satu demi satu. Lalu, bercerita lagi.

"Taklama berselang lelaki itu datang membawa dua barang miliknya, selembar baju dan sebuah gelas, lantas menyerahkan dua barang itu kepada Rasulullah saw. Dengan mata berbinar-binar, Rasulullah menanyakan harga barang di tangannya. leleaki itu dengan tegas menjawab bahwa dulu dia membelinya seharga saru dirham. Lantas, Rasulullah saw menawarkan dua barang itu kepada sahabat-sahabat yang sedang duduk mengitarinya. Pada tawaran pertama, belum ada seorang sahabatpun yang bersedia membeli barang itu dan langsung membayarnya dengan tunai. Uang hasil pembayaran pun diserahkan oleh Rasulullah saw kepada lelaki itu."

Kami menunggu terusan kisahnya ketika Bapak berhenti sejenak mengambil napas.

"Kata Rasulullah saw, 'Belilah makanan untuk anak-istrimu dan sisanya kau belikan perkakas agar kau bisa mencari nafkah. Setelah lima belas hari, kau kemari lagi.' Lelaki itu segera berlalu. Seorang sahabat mempertanyakan keputusan Rasulullah saw meminta lelaki itu agar menjual sisa harta yang dimiliki, tapi Rasulullah saw tak menjawab kecuali dengan senyuman."

Nanang terpana. "Terus, bagaimana nasib lelaki itu, Pak?" cetusnya.

"Lima belas hari kemudian, lelaki itu datang lagi menghadap Rasulullah saw dengan membawa lima belas dirham dari upahnya bekerja dengan menggunakan kapak."

Sungguh kisah yang seketika mengobarkan semangat kami, anak-anak miskin Kebon Dalem, agar lebih gigih bekerja. 

"Kalian bisa memahami makna kisah ini?" tanya Bapak.

Nanang terkesima, Kadir terpana, aku menganga.

"Kita harus berusaha sendiri," tutur Bapak lagi. "Kita harus mencari, bukan berleha-leha menunggu belas kasihan orang lain. Kalian punya domba atau kerbau, piara sebaik mungkin, tawakal dan bersyukur, rezeki akan datang dengan cara yang bisa jadi tak pernah kalian duga. Jadi, bergembiralah. Tak perlu berkecil hati karena hidup kita yang miskin seperti sekarang."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar